
Sabtu, 06 September 2025 - tulisanq
Jakarta adalah tempat di mana aku bekerja. Di tengah riuh, bising, dan padatnya ibukota, ada rasa kesendirian yang sulit dijelaskan. Orang-orang berlari mengejar waktu, sibuk dengan urusan masing-masing, seakan tak ada ruang untuk sekadar berhenti dan saling peduli. Di balik semua gemerlap lampu kota, aku berdiri sendiri, mencoba meyakinkan diri bahwa aku harus kuat.
Kuat menghadapi kerasnya hidup sebagai orang dewasa yang menuntut untuk bisa segalanya. Tuntutan yang datang tanpa henti, seakan hidup di ibukota ini hanyalah soal bertahan dan membuktikan diri. Di tengah suasana yang tidak ramah, aku harus siap menerima omelan, baik dari rekan kerja maupun atasan. Ada kalanya aku tidak tahu apa penyebab atasan marah, ada kalanya aku merasa semua yang kulakukan tetap salah di mata orang lain, tetapi aku tidak punya pilihan selain tetap bertahan.
Di sini, tidak boleh ada ruang untuk sakit. Tubuh harus selalu kuat, pikiran harus selalu siaga. Namun, hati kecilku sering bertanya—jika memang tidak boleh sakit, jika harus selalu terlihat tegar, bisakah aku setidaknya diizinkan untuk menangis? Karena hanya dengan itu, aku bisa sedikit melepaskan semua lelah yang kupendam di tengah kerasnya Jakarta.