Selasa, 12 Agustus 2025 - tulisanq
Dahulu, aku pernah mencintai seseorang. Bukan cinta yang biasa, bukan seperti kisah pacaran yang riuh dan penuh kebebasan. Kami memilih diam, menyimpan rindu dalam batas-batas yang tak terlihat, karena kami tahu, cinta semacam itu tak diperbolehkan. Dalam keheningan itu, kami terjalin—seperti bayangan yang saling menatap namun tak berani menyentuh.
Aku juga masih mengingat dulu, bagaimana kita pernah seperti orang konyol dalam interaksi di media sosial. Jika diingat sekarang, terasa cukup memalukan. Kata-kata yang terlontar, tawa yang sederhana, namun penuh dengan makna yang kita sembunyikan. Kini aku telah lebih dewasa dalam bertindak, berhati-hati dalam memilih kata dan menjaga setiap ucap.
Namun, suatu hari yang tak terduga, dia memutuskan kontak secara sepihak. Sebuah batas yang ia tarik dengan tegas, sebuah keputusan yang tak ku mengerti sepenuhnya. Dia menegurku, mengatakan bahwa berdua lewat pesan saja sudah seperti membuka pintu pada sesuatu yang tak seharusnya, meski hanya sekadar obrolan di layar kaca.
Dia juga pernah berbicara tentang pernikahan. Aku menyanggupi dengan hati yang penuh harap, bahkan berencana untuk bercerita kepada ayah dan ibu. Namun dia berkata, “Kamu belum bisa. Masih banyak yang harus kau siapkan. Mandirilah dulu.” Dia bilang, “Jika sudah siap, datanglah padaku.”
Aku pun berkata, “Jika kau mendapatkan lelaki yang melamarmu terlebih dahulu, izinkan aku untuk melepaskanmu, aku pasti telah mengikhlaskan.”
Kata-kata itu menusuk, namun aku terima dengan lapang dada.
Selama tiga tahun yang lalu, aku berjalan di jalan pembelajaran dan pengembangan diri. Aku mengikuti pelatihan, meraih sertifikasi, dan menapaki dunia kerja IT. Aku berusaha menjadi sosok yang mandiri dan kuat, yang pantas untuk kamu sambut.
Pada penghujung tahun 2023, kabar itu datang—kamu menikah dengan lelaki lain. Saat itu aku tengah menjalani sertifikasi dan mulai bekerja di bidang yang kupilih. Tak lama kemudian, aku mencoba peruntungan mengikuti tes CPNS, dan dengan izin-Nya aku diterima. Kini aku bekerja di kementerian, sebuah pencapaian yang aku anggap sebagai buah dari kesungguhan dan doa.
Aku ingin kau tahu, aku tak pernah lupa apa yang kau katakan dulu. Sekarang aku berdiri di sini, hidup mandiri dan tercukupi, telah menjadi pribadi yang kau harapkan. Usiaku 24 tahun, dan sebentar lagi, di tanggal 23 Agustus 2025, aku akan menginjak usia 25.
Meski sulit melupakanmu, aku terus berusaha untuk terlihat seolah tak mengenalmu, dan cerita kita kuanggap hanya sebagai pertemanan semata, apabila aku bertemu dengan anak dan suamimu.