TulisanQ

Image Not Uploaded

Teman?

Selasa, 14 Oktober 2025 - tulisanq

Memiliki banyak teman ternyata tidak selalu berarti memiliki banyak kebahagiaan. Aku baru menyadarinya setelah melewati begitu banyak peristiwa yang menyisakan luka. Dulu aku berpikir, semakin banyak teman, semakin penuh hidup ini. Nyatanya, semakin banyak yang datang, semakin banyak pula rasa sedih yang kutampung. Kini aku mengerti, lebih baik memiliki satu teman yang benar-benar tulus, daripada sepuluh yang hanya hadir saat mereka membutuhkan sesuatu dariku.


Banyak drama yang kulalui, drama yang bahkan tidak pernah kuminta. Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaanku saja, atau memang begitulah kenyataannya. Satu per satu teman yang dulu kuanggap sahabat, pergi begitu saja. Mereka datang saat butuh, tersenyum manis saat memerlukan pertolongan, lalu menghilang tanpa jejak ketika kebutuhannya sudah terpenuhi. Aku sempat bertanya dalam hati—apakah aku yang terlalu baik? Ataukah aku terlalu bodoh, hingga membiarkan diriku dimanfaatkan berkali-kali?


Aku pernah percaya bahwa semua orang adalah baik. Aku terlalu naif untuk berpikir bahwa kebaikan yang kuberikan akan selalu kembali dengan ketulusan yang sama. Namun hidup mengajarkan, tidak semua senyum berarti ketulusan, dan tidak semua perhatian berarti kepedulian. Aku rindu masa ketika teman-temanku masih mengajakku keluar tanpa harus diminta. Rindu saat tawa kami terasa nyata, bukan sekadar basa-basi. Tapi nyatanya, semua berubah. Kini mereka punya lingkaran lain, kelompok lain—dan aku tertinggal di luar, tanpa satu pun yang menoleh ke belakang.


Mungkin aku memang terlalu sering mengorbankan perasaanku demi menjaga mereka. Terlalu sering berbagi tanpa pernah menghitung. Aku tak pernah membeda-bedakan siapa yang dekat atau siapa yang baru datang, karena bagiku, semua teman adalah keluarga kecil yang harus dijaga. Tapi ternyata tidak semua orang berpikir demikian. Orang jahat belum tentu jahat, dan orang baik belum tentu benar-benar baik. Aku baru menyadarinya setelah semua orang yang dulu kusebut teman, perlahan pergi tanpa kata.


Kini aku hanya bisa menatap kosong, memikirkan betapa bodohnya aku dulu. Aku hanya ingin satu hal sebenarnya—teman yang mengerti tanpa diminta, yang hadir bukan karena ada perlu, yang mau tetap tinggal walau tak ada apa-apa yang bisa kuberi. Tapi sepertinya, teman seperti itu... hanya ada dalam harapan. Karena nyatanya, semua temanku telah pergi, dan tak satu pun yang benar-benar mengerti aku.

©2025 TulisanQ. All rights reserved.