TulisanQ

Image Not Uploaded

Pulang yang Tak Lagi Sama

Jumat, 05 September 2025 - tulisanq

Aku bekerja dari pagi hingga malam di Jakarta. Semua kulakukan dengan satu tujuan: mencari rezeki, agar bisa membahagiakan keluarga, agar mereka bisa tersenyum, agar waktu bersama terasa hangat. Namun, kenyataan tidak selalu berjalan sesuai harapan.


Saat aku pulang ke kampung halaman, tidak ada yang benar-benar menyambutku. Yang menjemput di stasiun justru pamanku, sementara ayah dan ibu hanya berada di rumah. Aku mencoba mengerti—mungkin mereka lelah, mungkin ada alasan yang tidak kuketahui.


Namun, ketika aku akhirnya tiba di rumah, yang menyambut hanyalah keheningan. Tidak ada pelukan, tidak ada hangatnya obrolan seperti dulu ketika kami pertama kali berpisah. Dulu, mereka begitu berat melepas kepergianku. Kini, seolah-olah kehadiranku tidak lagi berarti. Saat mereka rindu, mereka bisa menelepon. Tapi ketika aku benar-benar pulang, justru aku merasa diabaikan.


Aku bahkan harus mendengar ayahku berkata agar mencucikan pakaiannya, ketika aku mencuci pakaianku untuk dibawa kembali ke Jakarta. Katanya aku tidak peka. Padahal saat aku masih tinggal di rumah, aku sering mencucikan pakaian mereka, menyapu rumah, membersihkan kamar. Kini, aku tetap harus melakukan itu, bahkan saat aku ingin menikmati momen dengan keluarga di rumah untuk istirahat dari penatnya kesibukan ibu kota.


Rumah yang dulu kuanggap tempat pulang, kini terasa gersang. Ibuku sibuk dengan aktivitas yang tidak menghasilkan apa-apa, ayahku sibuk mencari uang, adikku belum bekerja. Aku bingung. Aku lelah. Aku baru tiba di rumah jam empat dini hari setelah perjalanan panjang, dan kini jam lima sore aku masih harus membereskan segalanya sendirian.


Dalam hati aku ingin marah. Ingin menyerah. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri: sebenarnya aku ini pulang untuk siapa? Apakah keluargaku benar-benar membutuhkanku? Atau aku hanyalah sekadar pengisi ruang di rumah yang tidak lagi dianggap penting?


Padahal, aku selalu berusaha membawa kebahagiaan. Aku membeli hadiah kecil untuk ayah dan ibu, sekadar kenang-kenangan, tanda bahwa aku ingat mereka. Tapi semua terasa hambar, tidak ada sambutan, tidak ada apresiasi.


Kadang aku berpikir, mungkin lebih baik aku tidak pernah dilahirkan. Tidak perlu merasakan kecewa, tidak perlu berharap akan dirindukan. Hatiku kosong, tidak ada yang mengisinya. Orang tuaku seperti tak peduli. Aku tidak punya pasangan hidup yang bisa menjadi tempat pulang. Jadi, aku pulang untuk siapa? Aku kembali untuk siapa?


Aku bekerja keras, tapi untuk apa? Aku mati nanti, siapa yang benar-benar akan merindukanku?


Satu-satunya jawaban yang bisa kutemukan hanyalah: aku hidup untuk mengabdi kepada Allah. Mungkin memang itu tujuan akhir manusia. Namun di sisi lain, hati kecilku tetap merindukan cinta—cinta dari keluarga, cinta dari orang terdekat, cinta yang membuat pulang terasa berharga.


Kini, aku hanya bisa menuliskan ini, berharap ada yang mengerti. Bahwa di balik kesibukan, di balik kerja keras, ada hati yang rindu untuk dipeluk, untuk dirindukan, untuk dianggap ada.

©2025 TulisanQ. All rights reserved.