Kamis, 25 September 2025 - tulisanq
Qadarallah wa masya fa’ala. Beberapa hari lalu, setiap malam tubuhku terasa begitu lemah. Batuk tak kunjung reda, lambung terasa perih seperti asam lambung yang naik, mual, bahkan serasa ingin diare. Dua hari aku sudah mencoba obat, namun tak ada perubahan berarti. Malam itu, entah bagaimana, aku teringat dengan nasehat seorang ustadz yang memahami kaitan antara ruqyah dan psikologi. Beliau pernah berkata, “Kesedihan mendalam yang dipendam sendirian bisa membuat paru-paru lemah, menimbulkan batuk, lalu menjalar pada pencernaan. Gangguan itu bisa berupa radang atau sakit di usus. Dan obatnya adalah memaafkan—hadirkan wajah orang yang membuatmu sedih, lalu ikhlaskan.”
Aku merenung, mungkin memang ada benarnya. Akhir-akhir ini aku sering menangis dalam hati. Bukan tangisan air mata, melainkan luka yang tertahan di dada. Di tempat kerja, aku merasa dijauhi, dihina, bahkan dicaci oleh orang-orang yang semula dekat denganku. Dunia kerja memang tidak selalu ramah. Aku sudah berusaha meminta maaf atas segala kesalahan, meskipun itu hanyalah hal kecil, miskomunikasi yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik. Namun ternyata, tidak semua orang mampu memaafkan. Ada yang memilih untuk tetap menyimpan benci. Hal itu membuatku merasa begitu terpuruk, sebab aku sering berusaha berempati pada mereka, tapi ketika aku yang butuh dimengerti, justru tak ada ruang untukku.
Malam itu, kata-kata sang ustadz kembali terngiang. Aku sadar, aku sudah meminta maaf, dan jika mereka tetap menolak, itu bukan lagi urusanku, melainkan urusan mereka dengan Allah. Aku pun mencoba memutar arah hatiku: bukan menuntut mereka untuk memaafkan, tapi aku sendiri yang harus belajar memaafkan. Memaafkan sikap mereka, kata-kata mereka, juga luka yang mereka tinggalkan. Perlahan, dada terasa lebih lapang. Dan subhanallah, malam itu juga batukku reda. Pencernaan yang tadinya bermasalah, terasa jauh lebih baik.
Alhamdulillah, aku belajar bahwa kesehatan hati begitu erat kaitannya dengan kesehatan tubuh. Mungkin selama ini sakitku bukan hanya perkara fisik, tapi juga beban jiwa. Dan ternyata, obat yang paling mujarab bukan hanya pil atau kapsul, melainkan ketulusan untuk memaafkan.