Minggu, 21 September 2025 - tulisanq
Kemarin, Kamis sore, aku pulang dari kantor sekitar pukul 18.00 WIB. Seperti biasa, aku mengenakan masker, jaket, dan topi. Semua itu bukan hanya untuk melindungi diri dari debu kota, tapi juga untuk menyembunyikan identitas. Di Jakarta, aku merasa lebih aman ketika tak dikenal daripada dikenal. ID Card kantorku pun selalu kusimpan rapat di saku jaket, seolah tak ingin ada orang asing tahu siapa diriku sebenarnya.
Ketika turun dari halte dan berjalan di trotoar, mataku tertuju pada pemandangan sederhana namun menyentuh hati. Seorang bapak pemulung bersama anaknya duduk di pinggir jalan. Si anak tampak gembira menemukan sebuah buku bekas, lalu ia membacanya dengan penuh antusias, seakan dunia di sekelilingnya menghilang. Ada rasa yang sulit dijelaskan di dadaku—antara haru, sedih, dan tak tega melihat keadaan mereka.
Tak jauh dari sana, sekitar 50 meter, aku melihat seorang pedagang sate padang. Tanpa berpikir lama, aku membelikan satu porsi untuk bapak dan anak itu. Aku meminta penjualnya menyerahkan langsung, agar mereka tidak tahu siapa yang memberi. Sore itu sebenarnya aku pun belum sempat makan, tapi aku tahu, aku bisa dengan mudah membeli makanan kapan saja. Berbeda dengan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, di mana satu porsi makan saja adalah kemewahan.
Di balik kejadian sederhana itu, aku kembali teringat pada mimpiku. Aku ingin suatu hari menjadi pengusaha besar, bahkan jika Allah izinkan, menjadi seorang Presiden. Bukan sekadar demi kebanggaan, tapi karena aku ingin menciptakan banyak lapangan kerja dan memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Aku tahu, diriku sendiri pun mendambakan kebahagiaan. Namun, aku percaya, kebahagiaan yang sejati lahir ketika kita bisa membuat orang lain tersenyum dan merasa berarti.