Minggu, 21 September 2025 - tulisanq
Sejak remaja, aku terbiasa ditunjuk menjadi ketua atau orang penting dalam sebuah kelompok. Entah itu di sekolah, organisasi, atau pertemanan, peran itu seolah selalu diarahkan kepadaku. Padahal, jauh di dalam hati, aku tidak pernah benar-benar menginginkannya. Aku ingin menjadi bagian biasa dari sebuah kelompok, bukan selalu berada di depan. Namun, takdir seperti memaksa, hingga hampir setiap kali, namaku yang diajukan.
Anehnya, saat aku dipercaya untuk memimpin, justru muncul jarak dalam pertemanan. Aku berusaha bergaul sewajarnya—berkenalan, menyapa, bercanda—seperti orang lain. Tapi tetap saja terasa ada sekat yang tak kasat mata. Di balik kebersamaan organisasi, sering ada grup-grup kecil yang terbentuk, dan entah mengapa aku tidak pernah masuk ke dalamnya. Rasanya seakan aku hanya dipandang sebagai "ketua", bukan sebagai teman.
Setiap ada proyek atau tugas penting, nama yang muncul untuk maju selalu diriku. Saat harus berbicara dengan atasan atau menghadapi masalah, akulah yang disodorkan. Sementara ketika mereka tertawa bersama, merencanakan liburan, atau sekadar hang out, aku justru tidak pernah tahu. Aku hanya mendengar cerita setelah semuanya terjadi, seolah dunia kebersamaan mereka berjalan tanpa keberadaanku.
Kadang aku bertanya dalam hati, apa sebenarnya arti seorang teman? Apakah sekadar orang yang bisa diandalkan ketika ada kepentingan? Ataukah mereka yang menerima kita, tidak hanya karena posisi atau peran, melainkan karena kita apa adanya? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, meninggalkan rasa sepi di tengah keramaian.