Rabu, 03 Desember 2025 - tulisanq
Saya pernah mengalami beberapa kejadian yang membuat saya merenungkan kembali budaya antre dan etika dalam menggunakan transportasi umum, khususnya di kota besar seperti Jakarta. Suatu hari, ketika saya sedang mengantre untuk naik kendaraan umum, tiba-tiba seseorang di belakang saya—seorang wanita—mendorong antrean agar maju lebih cepat. Padahal jelas bahwa orang di depan kami belum bisa masuk. Situasi seperti itu tentu menimbulkan ketidaknyamanan, karena sejatinya antre adalah soal kesabaran dan saling menghormati ruang orang lain.
Pengalaman lain terjadi ketika saya berada di dalam bus. Ada seorang penumpang wanita yang duduk di kursi prioritas, yang sebenarnya diperuntukkan bagi difabel, lansia, ibu hamil, atau orang yang membawa bayi. Ketika penumpang yang lebih berhak membutuhkan kursi tersebut, ia tampak enggan memberikan tempat. Kejadian-kejadian seperti ini membuat saya bertanya-tanya: apakah sebagian orang merasa memiliki prioritas tertentu hanya karena faktor gender, atau karena budaya sosial yang sejak lama menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus selalu diprioritaskan?
Di sisi lain, perkembangan zaman telah membawa perubahan besar pada peran sosial perempuan. Berkat perjuangan banyak tokoh emansipasi, perempuan kini memiliki kesempatan yang setara dalam pendidikan, pekerjaan, dan ruang publik. Dalam konteks ini, alasan dianggap “lemah” atau “tidak mampu” seharusnya tidak lagi digunakan untuk mendapatkan perlakuan istimewa, kecuali memang dalam kondisi yang benar-benar membutuhkan, seperti kehamilan atau keterbatasan fisik.
Ketika kesetaraan sudah diperjuangkan dan diakui, idealnya penerapannya juga konsisten, termasuk dalam hal penegakan hukum dan tanggung jawab sosial. Kesetaraan berarti hak yang sama, tetapi juga kewajiban yang sama, tanpa perlakuan khusus yang tidak relevan. Di tengah kenyataan bahwa pelanggaran atau kejahatan dapat dilakukan oleh siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, prinsip keadilan yang seimbang seharusnya tetap dijunjung tinggi.
Pada akhirnya, ketidaknyamanan yang saya rasakan bukan semata soal gender, tetapi lebih kepada perilaku individu serta ketidakseimbangan antara hak dan tanggung jawab di ruang publik. Dunia yang adil adalah dunia di mana semua orang diperlakukan sama sesuai aturan, dan setiap orang saling menghormati sesama pengguna fasilitas umum. Ketika hal itu belum tercapai, wajar jika muncul rasa kesal dan pertanyaan mengenai keadilan sosial yang ideal.