Rabu, 08 Oktober 2025 - tulisanq
Hari demi hari aku lewati di Jakarta, seperti robot yang hidup hanya karena sistem yang menggerakkannya. Pagi jam 04.00 aku bangun, bersiap seperlunya, lalu berangkat kerja jam 06.00. Bus yang kutumpangi selalu penuh, desak-desakan sudah menjadi bagian dari rutinitas, seakan menjadi ujian kecil sebelum hari benar-benar dimulai. Jam 07.30 aku tiba di kantor, duduk di depan meja, menatap layar komputer, dan mulai bekerja hingga siang. Istirahat satu jam di tengah hari pun terasa singkat — kadang hanya cukup untuk makan dan menenangkan diri sejenak sebelum kembali ke rutinitas yang sama sampai jam 17.00.
Sore hari, perjalanan pulang tidak jauh berbeda. Aku kembali naik bus yang penuh sesak, menatap wajah-wajah lelah yang mungkin merasakan hal yang sama denganku. Sampai di kos sekitar pukul 18
.30, aku mengerjakan beberapa tugas hingga jam 21.00, lalu tertidur, hanya untuk bangun lagi jam 04.00 keesokan harinya. Begitu terus — berulang, berputar, tanpa jeda. Kadang aku berpikir, apakah ini yang disebut “hidup”?
Aku sering merasa bosan, jenuh, dan ingin sekali pulang ke rumah. Dulu, aku masih punya waktu untuk diri sendiri, untuk hal-hal kecil yang membuat bahagia. Sekarang, hari Sabtu dan Minggu terasa seperti anugerah yang langka. Dua hari itu menjadi momen berharga untuk merasakan hidup, meski terkadang dua hari libur terasa terlalu cepat berlalu. Di sela rasa lelah dan kebosanan, muncul pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kutepis: aku bekerja ini sebenarnya untuk siapa? Untuk rakyat? Untuk keluarga? Atau untuk diriku sendiri?
Aku bekerja sebagai ASN, dan jujur saja, aku melakukannya karena pekerjaan ini memberiku gaji, bukan karena panggilan jiwa atau kata-kata “pengabdian”. Pengabdian, bagiku, adalah ketika seseorang bekerja tanpa pamrih — seperti relawan yang membantu tanpa berharap bayaran. Sedangkan ASN bekerja berdasarkan sistem, target, dan kewajiban yang memang menuntut balas jasa. Jadi, jika pengabdian itu diukur dari seberapa ikhlas bekerja tanpa mengharap gaji, mungkin istilah itu tak cocok untuk menggambarkan profesi ini.
Pernah seorang senior berkata, “Jangan tanya apa yang negara berikan padamu, tapi apa yang kau berikan untuk negaramu.” Kalimat itu memang terdengar heroik, tapi bagiku terasa tidak relevan dengan kenyataan. Kami bekerja untuk rakyat, bukan untuk entitas bernama “negara” yang abstrak. Lagi pula, negara tanpa rakyat tidak akan berarti apa-apa. Lalu siapa yang dimaksud dengan “negara” di sini? Rakyat, atau para pejabat eselon yang sering meminta pelayanan lebih dari bawahannya?
Ironisnya, banyak ASN justru bekerja bukan untuk melayani rakyat, melainkan melayani para atasan — menyiapkan makanan, pakaian, bahkan urusan pribadi mereka. Kadang aku melihat hal itu dan merasa miris: sistem ini seakan menciptakan lingkaran di mana pengabdian kehilangan maknanya.
Entah sampai kapan aku akan menjalani rutinitas ini, tapi satu hal yang pasti — aku sedang belajar memahami arti kerja, arti waktu, dan arti hidup di tengah hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah tidur.