Kamis, 27 November 2025 - tulisanq
Akhir-akhir ini pikiranku dipenuhi banyak hal yang datang bersamaan, membuat kepalaku terasa penuh sampai ke ujungnya. Ada momen-momen ketika sempat terlintas di pikiranku untuk bunuh diri saja, sekadar agar aku bisa tenang dari hiruk pikuk dunia ini. Pikiran itu muncul bukan karena aku tidak sayang hidup, tapi karena aku terlalu lelah. Meski begitu, aku tahu aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak mau membuat orangtuaku bersedih dan menanggung luka yang tidak seharusnya mereka rasakan. Yang aku butuhkan sebenarnya hanya ketenangan—jeda dari semuanya, termasuk dari pekerjaanku.
Belakangan ini aku benar-benar tidak menikmati pekerjaanku. Rasanya burnout, ingin resign, ingin berhenti dari semua tekanan. Tapi akar masalahnya bukan cuma soal pekerjaan. Ada konflik internal, luka batin yang menumpuk, dan kelelahan fisik yang membuatku seperti berjalan sambil menyeret diri sendiri. Lebih menyakitkan lagi, semua yang kukerjakan seolah tidak pernah dianggap. Tidak ada apresiasi, tidak ada penghargaan, bahkan sekedar pengakuan pun terasa mustahil. Semua seperti teks yang lewat begitu saja di depan mata pimpinan—terlihat, tapi tidak diperhatikan.
Aku mencoba untuk tidak peduli, mencoba bersikap bodo amat. Tapi batas kesabaran setiap orang ada.
Suatu hari, aku melihat rekanku yang seangkatan denganku bahkan tidak diperbolehkan duduk makan bersama. Padahal kami masuk di waktu yang sama. Di kesempatan lain, saat di lift, aku didorong tergesa-gesa untuk segera keluar tanpa alasan yang jelas. Ada juga momen ketika aku dipermalukan di depan banyak orang hanya karena aku berkata jujur bahwa aku tidak mengerti sesuatu. Saat itu aku bertanya pada diriku sendiri: apakah salah untuk jujur? Mengapa rasanya yang dicari hanya kesalahanku saja?
Belum selesai dari itu, kemarin saat audiensi dengan salah satu organisasi, aku kembali disalahkan. Katanya aku tidak memberi tahu pimpinan soal siapa yang hadir, padahal aku sudah menyampaikan semuanya ke orang terdekat pimpinan, bahkan sudah mengantisipasi setiap potensi kesalahan. Aku sudah melaporkan siapa saja yang akan datang, agenda apa yang akan dibahas, dan detail-detail penting lainnya. Tetapi saat hari H, pimpinan malah tidak tahu apa-apa. Semua yang telah kulaporkan seolah tidak pernah dibaca. Akhirnya acara tidak berjalan lancar, dan aku harus menanggung kecewa itu seorang diri.
Hidupku tidak sesimpel yang orang bayangkan. Di balik pekerjaanku, ada banyak hal lain yang kupikirkan: orang tua, rumah, kebutuhan hidup, dan semuanya bertumpuk jadi satu. Saat aku ingin pulang untuk meredakan stres, justru datang tugas baru. Saat aku ingin bersantai, kerjaan terus berdatangan. Beban makin banyak, tapi tidak ada satupun yang dihargai. Menjelang akhir tahun, ketika orang lain merencanakan liburan, aku justru harus berjaga di posko liburan, menjadi tim monitoring-evaluasi, dan belakangan ditambah masuk tim administrasi umum yang penuh pekerjaan teknis.
Aku lelah. Sungguh lelah. Rasanya aku butuh jeda, butuh napas panjang untuk sekadar bertanya pada diriku sendiri: apa yang sebenarnya harus kulakukan? Kepalaku pusing, hatiku sesak, dan jujur saja, terkadang muncul pikiran untuk pergi dari dunia ini, hanya agar semua tekanan ini berhenti.