
Rabu, 05 Februari 2025 - tulisanq
Dalam Islam, menaati pemimpin dan mencintai negara adalah bagian dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman salafush shalih. Seorang Muslim dituntut untuk patuh kepada pemimpin dalam hal yang ma’ruf serta menjaga stabilitas negara, selama tidak diperintahkan kepada maksiat.
Kewajiban Taat kepada Pemimpin dalam Islam
Taat kepada pemimpin adalah perintah Allah dan Rasul-Nya, selama dalam perkara yang tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil amri di antara kalian.”
(QS. An-Nisa: 59)
Dalam ayat ini, ulil amri mencakup para pemimpin muslim, baik dalam urusan agama (ulama) maupun pemerintahan (umara). Rasulullah ﷺ juga bersabda:
"Barang siapa yang menaati pemimpin, maka ia telah menaatiku, dan barang siapa yang mendurhakai pemimpin, maka ia telah mendurhakaiku."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama salaf menjelaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin bukan berarti membenarkan segala kesalahan mereka, tetapi tetap dalam batasan syariat. Jika pemimpin memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak boleh ditaati dalam hal itu, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah."
(HR. Ahmad, disahihkan oleh Al-Albani)
Mencintai Negara dalam Islam
Islam mengajarkan kecintaan terhadap tanah air sebagai bagian dari fitrah manusia. Rasulullah ﷺ sendiri mencintai Makkah dan bersedih ketika harus meninggalkannya untuk hijrah ke Madinah. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda:
"Demi Allah, engkau (Makkah) adalah negeri terbaik dan yang paling aku cintai. Seandainya bukan karena pendudukmu mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu."
(HR. Tirmidzi, hasan shahih)
Ini menunjukkan bahwa mencintai tanah air adalah perkara yang diakui dalam Islam. Namun, cinta terhadap negara tidak boleh mengalahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak boleh membenarkan sikap fanatik buta terhadap pemimpin yang menyimpang dari syariat.
Sikap Salaf dalam Menghadapi Pemimpin yang Zalim
Para ulama salaf menasihatkan agar tetap bersabar terhadap pemimpin yang zalim dan tidak melakukan pemberontakan selama mereka masih menegakkan shalat dan hukum Islam. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"Para ulama sepakat bahwa tidak boleh memberontak kepada para pemimpin dan tidak boleh memerangi mereka meskipun mereka zalim. Sebab, kerusakan yang timbul dari pemberontakan lebih besar dibanding kezaliman pemimpin."
(Majmu’ Al-Fatawa, 28/179)
Imam Ahmad bin Hanbal juga berpesan agar tetap mendoakan kebaikan bagi pemimpin:
"Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi pemimpin, maka ketahuilah bahwa ia pengikut hawa nafsu. Dan jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi pemimpin, maka ketahuilah bahwa ia pengikut Sunnah."
(Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/236)
Kesimpulan
Taat kepada pemimpin dan mencintai negara adalah bagian dari ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, ketaatan ini bersyarat, yakni dalam hal yang ma’ruf dan tidak bertentangan dengan syariat. Islam juga melarang pemberontakan terhadap pemimpin yang masih menegakkan shalat dan hukum Islam, meskipun mereka memiliki kezaliman. Solusinya adalah dengan menasihati dengan cara yang baik dan mendoakan kebaikan bagi mereka.
Dengan memahami prinsip ini, seorang Muslim dapat menjaga stabilitas negara, tetap berpegang teguh pada agama, serta menjalankan ajaran Islam dengan sikap yang bijak dan sesuai dengan pemahaman salaf.
Wallahu a’lam.