Selasa, 28 Oktober 2025 - tulisanq
Awalnya, kita hanya bertemu di sebuah organisasi sekolah. Tak pernah terlintas bahwa pertemuan singkat itu akan menjadi awal dari kisah yang begitu panjang di hati. Dari sekadar berbagi tugas, percakapan kita berlanjut di WhatsApp — dan perlahan, aku mengenalmu lebih dalam. Kamu memberiku nomor orang tuamu, meski hubungan ini belum tentu berakhir dengan keseriusan. Aku yang kala itu sedang berusaha hijrah, justru tergelincir dalam godaan perasaan. Aku mencintaimu sepenuh hati, sampai lupa arah tujuanku sendiri.
Kamu yang belum mengenal apa itu sunnah, perlahan mulai belajar. Aku memperkenalkanmu pada ustadz-ustadz yang kujadikan panutan, dan tanpa kusangka, kamu tumbuh begitu cepat. Pengetahuan agamamu melampaui harapanku — bahkan melebihi diriku sendiri. Tapi di balik itu, satu kesalahan fatal kita lakukan: saling menyatakan cinta sebelum waktunya. Setan membuat segalanya tampak indah, menutupi hakikat dosa di baliknya. Aku jatuh terlalu dalam, dan kamu pun ikut tenggelam bersamaku.
Waktu berjalan.
Kita berpisah karena keadaan — karena kelulusan memisahkan langkah kita. Kamu semakin dalam menekuni ilmu agama, sementara aku menyiapkan masa depan dengan satu harapan sederhana: agar bisa menikahimu suatu hari nanti. Namun akhirnya, kita menyadari bahwa hubungan tanpa ikatan suci hanyalah fatamorgana yang beraroma dosa. Kita berhenti, menjaga jarak, membiarkan layar WhatsApp sepi dari namamu.
Lalu kabar itu datang — kabar yang membuat dadaku sesak. Kamu menikah.
Satu lembar undangan pernikahan menjadi bukti nyata bahwa doaku tak lagi sejalan dengan takdirmu. Aku diam. Tak mampu datang, tak kuasa berkata apa-apa. Hanya menatap kosong, mencoba menerima bahwa seseorang yang dulu aku jaga dalam doa, kini telah halal untuk orang lain.
Mungkin aku memang terlalu cepat mencintai, di saat diriku belum siap sepenuhnya menjadi imam.
Sejak itu, aku belajar menata hati. Menyibukkan diri dalam kerja dan doa, berusaha menutup luka dengan kesibukan. Namun tiap kali aku melihat story-mu di Instagram — foto sederhana, senyummu di samping suamimu, anak kecil dalam pelukanmu — ada bagian hatiku yang kembali retak.
Kadang, bisikan itu muncul pelan:
“Seandainya itu aku di sana… bersamamu.”
Aku masih menyimpan kenangan lama — termasuk lukisan kecil yang pernah kamu buat, tentang kita yang bergandengan tangan. Padahal kita tak pernah benar-benar melakukannya. Kita menjaga diri, menjauhi pacaran, tapi justru kini aku menanggung rindu yang tak punya tempat pulang.
Sulit melupakanmu.
Setiap foto organisasi, setiap nama di daftar panitia, mengingatkanku padamu. Aku tak tahu apakah kamu sungguh lupa, atau pura-pura tak mengenal lagi. Satu-satunya jejak yang tersisa hanyalah status “saling mengikuti” di Instagram. Aku tak ingin menghapusmu. Biarlah aku tahu kabarmu dalam diam, tanpa harus mengganggu bahagiamu.